Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Search Topics

Miris! Hampir Semua Jurnalis Perempuan Indonesia Pernah Jadi Korban Kekerasan, Ini Alasannya!


Kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia kini menjadi salah satu persoalan serius yang semakin sulit untuk diabaikan. Berdasarkan berbagai survei dan laporan dari organisasi jurnalis dan lembaga perlindungan hak asasi manusia, terungkap fakta mengejutkan: hampir 90% jurnalis perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk—baik secara fisik, verbal, psikologis, hingga kekerasan berbasis digital.

Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap persen tersebut, terdapat kisah pilu, tekanan mental, bahkan trauma yang mendalam. Banyak jurnalis perempuan mengaku pernah diintimidasi saat menjalankan tugas peliputan, mengalami pelecehan seksual di lingkungan kerja, hingga menjadi sasaran ujaran kebencian dan doxing di media sosial.

Kekerasan Datang dari Berbagai Arah

Yang membuat persoalan ini semakin kompleks adalah sumber kekerasan yang begitu beragam. Tak hanya dari narasumber atau masyarakat saat liputan di lapangan, tekanan juga datang dari rekan kerja, atasan, bahkan institusi media itu sendiri.

Beberapa kasus menunjukkan bahwa perempuan jurnalis kerap kali direndahkan profesionalismenya hanya karena gender. Mereka dianggap “kurang tegas,” “tidak cocok untuk liputan lapangan yang keras,” atau malah dieksploitasi untuk meliput isu-isu sensasional demi klik dan rating, tanpa memperhatikan aspek keselamatan mereka.

Sementara itu, di ranah digital, jurnalis perempuan menjadi target empuk perundungan dan pelecehan seksual online. Serangan yang mereka terima tidak hanya merendahkan profesi, tapi juga menyerang kehidupan pribadi. Akun media sosial mereka dibanjiri komentar seksis, ancaman kekerasan, bahkan penyebaran data pribadi (doxing) yang membahayakan keselamatan mereka dan keluarganya.

Budaya Patriarki dan Minimnya Proteksi

Salah satu akar persoalan yang tak bisa dipungkiri adalah budaya patriarki yang masih sangat kental di berbagai lini masyarakat, termasuk dalam industri media. Perempuan yang bersuara lantang kerap dicap “tidak sopan” atau “tidak tahu diri,” padahal mereka hanya sedang menjalankan tugas jurnalistiknya secara profesional.

Sayangnya, perlindungan terhadap jurnalis perempuan masih sangat minim. Banyak redaksi belum memiliki kebijakan tegas untuk menangani kekerasan berbasis gender, baik di internal maupun eksternal. Tidak sedikit pula kasus kekerasan yang justru disikapi dengan pembungkaman atau pengabaian oleh manajemen media.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk menghentikan rantai kekerasan ini, perlu upaya kolektif dari berbagai pihak. Media harus mulai berani membangun sistem perlindungan internal yang ramah gender, memastikan adanya jalur pelaporan yang aman dan responsif, serta memberikan pelatihan kepada seluruh staf terkait kesetaraan dan etika kerja.

Pemerintah dan lembaga hukum juga harus mengambil peran aktif dalam melindungi jurnalis perempuan, termasuk dengan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan, baik di dunia nyata maupun digital.

Lebih dari itu, masyarakat perlu diedukasi untuk lebih menghargai kerja-kerja jurnalistik tanpa membawa bias gender. Karena ketika jurnalis—siapa pun mereka—tidak lagi merasa aman, maka yang sebenarnya terancam adalah kebebasan pers itu sendiri.