Penyair Putu Oka Sukanta menghadapi pandemi lewat puisi
Pandemi bukan hanya menyerang tubuh manusia, tapi juga mengguncang batin dan perasaan. Dalam situasi penuh ketidakpastian, kesendirian, dan kesedihan yang melanda, banyak orang mencari pelarian—sebuah ruang untuk menenangkan hati dan mengolah rasa. Bagi Putu Oka Sukanta, penyair, sastrawan, sekaligus penyintas sejarah yang telah lama berkarya dalam dunia sastra Indonesia, puisi kembali menjadi pelipur lara, teman setia dalam melewati masa-masa krisis global tersebut.
1. Putu Oka Sukanta: Suara yang Tak Pernah Padam
Putu Oka Sukanta bukan nama baru dalam dunia sastra Indonesia. Lahir pada tahun 1939 di Bali, ia telah menulis sejak muda dan dikenal sebagai sosok yang konsisten menyuarakan kemanusiaan, keadilan, dan ketabahan lewat kata-kata. Di balik perjalanan panjangnya sebagai sastrawan, ia juga pernah menjadi tahanan politik Orde Baru, pengalaman getir yang kemudian memperkaya kedalaman karya-karyanya.
Pandemi COVID-19 yang menghantam dunia tak luput dari perhatian Putu Oka. Dalam kesunyian ruang isolasi sosial dan batasan mobilitas, ia justru kembali pada akar perasaannya: puisi.
2. Puisi di Tengah Pandemi: Menyulam Luka Menjadi Makna
Dalam keterasingan yang dirasakan banyak orang selama pandemi, puisi bagi Putu Oka hadir sebagai media refleksi dan penyembuhan batin. Ia tidak hanya menulis tentang ketakutan, kehilangan, atau kerinduan, tetapi juga tentang harapan, keberanian, dan keteguhan hati manusia dalam menghadapi bencana yang tak terlihat.
Melalui baris-baris puisinya, ia menggambarkan pandemi bukan hanya sebagai musibah, tapi juga sebagai momen kontemplasi akan relasi manusia dengan alam, sesama, dan dirinya sendiri.
Bagi Putu Oka, puisi bukan sekadar karya sastra, melainkan sarana perlawanan terhadap keputusasaan, serta jembatan untuk menjalin kembali empati dan kesadaran kolektif. Dalam kondisi dunia yang terfragmentasi oleh jarak dan ketakutan, puisi menjadi ruang yang menyatukan rasa.
3. Kata-Kata yang Menyembuhkan
Tak hanya menulis, Putu Oka juga aktif membacakan puisi secara daring dalam berbagai forum selama pandemi. Ia menjadikan kegiatan ini sebagai upaya menjaga koneksi emosional dan spiritual dengan publik, meski tanpa tatap muka. Banyak pendengar mengakui bahwa lantunan puisinya memberikan ketenangan di tengah kekacauan informasi dan suasana hati yang tidak menentu.
Melalui puisi, Putu Oka seolah menyampaikan pesan bahwa setiap krisis bisa dihadapi, asal kita tidak kehilangan makna dan kemanusiaan.
4. Puisi sebagai Nafas Panjang Perjalanan
Perjalanan Putu Oka Sukanta selama pandemi menunjukkan bahwa puisi tetap memiliki daya hidup yang kuat. Bukan hanya sebagai karya estetik, tetapi juga sebagai cara bertahan, menyuarakan hati nurani, dan memulihkan luka kolektif. Ia membuktikan bahwa bahkan dalam keterbatasan, kata-kata tetap bisa bergerak, menyentuh, dan menyembuhkan.
Dalam dunia yang terus berubah, puisi menjadi ruang diam yang tetap bergema, dan Putu Oka adalah salah satu suara yang menjaga gema itu tetap hidup.
