Awas! Tanpa Aturan Jelas, Penggunaan Sperma dan Sel Telur Bisa Bahayakan Kelompok Rentan!
Kemajuan teknologi di bidang reproduksi memang membawa harapan baru bagi banyak pasangan yang mendambakan keturunan. Prosedur seperti inseminasi buatan, fertilisasi in vitro (IVF), dan penggunaan donor sperma maupun sel telur menjadi solusi nyata dalam perawatan kesuburan modern. Namun, di balik harapan yang menjanjikan, para ahli memperingatkan adanya bahaya yang mengintai jika tidak ada aturan hukum yang jelas dalam proses penggunaannya—terutama terhadap kelompok yang paling rentan.
Teknologi Reproduksi: Peluang atau Ancaman?
Perawatan kesuburan yang melibatkan penggunaan sperma dan sel telur donor bukan sekadar proses biologis. Di balik prosedur tersebut terdapat dampak sosial, hukum, dan etika yang sangat kompleks. Tanpa perlindungan hukum yang kuat, pihak-pihak tertentu dapat berada dalam posisi yang merugikan—baik donor, penerima, maupun anak yang dilahirkan.
Sebuah studi baru-baru ini menggarisbawahi bahwa ketiadaan regulasi yang jelas dapat menimbulkan risiko eksploitasi, ketidakadilan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Kelompok Rentan dalam Praktik Kesuburan
Kelompok yang paling berisiko terkena dampak negatif dari praktik kesuburan tanpa aturan hukum yang jelas meliputi:
- Donor Sel Reproduksi: Tanpa perlindungan hukum, donor bisa dieksploitasi secara ekonomi atau dimanfaatkan tanpa persetujuan yang transparan dan informatif.
- Penerima Donor (Calon Orang Tua): Mereka bisa terjebak dalam sengketa hukum terkait hak asuh, identitas genetik anak, atau klaim dari pihak ketiga.
- Anak yang Dilahirkan: Tanpa regulasi, anak bisa tumbuh tanpa akses informasi tentang asal-usul genetiknya, yang dapat memicu krisis identitas atau konflik hukum di masa depan.
Apa yang Diperlukan?
Penelitian tersebut menyerukan agar pemerintah dan lembaga kesehatan segera menetapkan kerangka hukum yang tegas dan inklusif, mencakup:
- Konsensus tentang hak dan kewajiban semua pihak (donor, penerima, dan anak).
- Perlindungan terhadap penyalahgunaan data genetik dan privasi individu.
- Standar etis dalam proses seleksi dan persetujuan donor.
- Kebijakan terkait transparansi identitas genetik untuk anak di masa depan, jika
diinginkan.
Dampaknya Jika Dibiarkan
Tanpa regulasi yang memadai, praktik kesuburan berisiko menjadi lahan komersialisasi yang tidak etis. Donor bisa dijadikan komoditas, anak dianggap ‘produk’, dan sistem hukum kewalahan menangani konflik yang muncul. Bahkan, di beberapa kasus internasional, terjadi tuntutan hukum dari anak-anak hasil donor yang merasa kehilangan hak untuk mengetahui asal-usul mereka.
Kesimpulan: Saatnya Hukum Mengikuti Perkembangan Teknologi
Teknologi boleh saja berkembang cepat, tapi hukum tidak boleh tertinggal. Penelitian ini menjadi peringatan penting bahwa kebijakan publik dan sistem hukum harus siap menjawab tantangan etika dan sosial yang muncul dari praktik kesuburan modern.
Tanpa aturan yang jelas, yang menjadi korban bukan hanya para pihak yang terlibat langsung—tapi juga generasi masa depan.
