Fenomena Bunuh Diri dan Self-Harm di Kalangan Mahasiswa: Dampaknya pada Penderita Gangguan Bipolar dan Keturunannya
Fenomena bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm) di kalangan mahasiswa telah menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan akademik yang tinggi, tuntutan sosial, ketidakpastian masa depan, hingga kurangnya sistem dukungan emosional menjadi kombinasi yang memicu krisis kesehatan mental pada generasi muda ini. Dalam situasi tertentu, tindakan self-harm dianggap sebagai pelarian atau bentuk ekspresi dari rasa sakit batin yang tidak tersampaikan. Sayangnya, sebagian dari mereka tidak mendapatkan bantuan yang memadai hingga akhirnya memilih jalan tragis: bunuh diri.
Namun, di balik tragedi tersebut, terdapat efek berlapis yang sering luput dari perhatian—khususnya dampaknya terhadap penderita gangguan bipolar dan keturunannya. Gangguan bipolar sendiri merupakan kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem antara depresi dan mania. Individu dengan kondisi ini memiliki kerentanan emosional yang lebih tinggi dan respons psikologis yang bisa lebih intens terhadap tekanan sosial atau trauma lingkungan.Ketika lingkungan sekitar—terutama teman dekat, keluarga, atau rekan satu kampus—mengalami self-harm atau bahkan bunuh diri, penderita bipolar berpotensi mengalami lonjakan stres emosional yang dapat memicu episode depresi berat atau mania. Hal ini diperburuk jika individu tersebut masih berada dalam masa adaptasi atau belum mendapatkan penanganan terapi yang konsisten.
Lebih dari itu, terdapat pula dimensi genetik dan psikososial yang berperan dalam proses penurunan risiko gangguan mental kepada keturunan penderita bipolar. Lingkungan yang sarat dengan trauma psikologis, termasuk paparan terhadap kasus bunuh diri atau self-harm yang terjadi berulang kali, dapat menciptakan atmosfer emosional yang tidak sehat bagi anak-anak atau generasi berikutnya. Meskipun bipolar memiliki komponen genetik, faktor lingkungan sangat memengaruhi bagaimana kecenderungan tersebut termanifestasi dalam kehidupan keturunan.
Paparan terhadap kejadian traumatis pada usia dini atau masa pertumbuhan dapat memicu gangguan kecemasan, depresi, atau bahkan memunculkan gejala bipolar yang sebelumnya tidak aktif. Anak-anak dari penderita bipolar yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketegangan emosional berisiko mengalami gangguan emosional serupa, baik secara langsung maupun melalui pola pengasuhan yang terdistorsi oleh tekanan psikologis.
Oleh karena itu, penting untuk memandang masalah bunuh diri dan self-harm bukan hanya sebagai isu individual, tetapi juga sebagai problem sosial yang memiliki dampak jangka panjang pada kelompok rentan, termasuk penderita gangguan mental dan keluarganya. Upaya preventif harus mencakup edukasi kesehatan mental yang menyeluruh di lingkungan kampus, layanan konseling yang mudah diakses, dan penanganan krisis emosional secara cepat dan empatik.
Kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kesehatan mental, membangun ruang aman untuk berbagi, serta menghapus stigma terhadap gangguan psikologis harus menjadi fondasi dalam menciptakan lingkungan kampus yang sehat secara emosional. Hanya dengan begitu, kita dapat mencegah terulangnya tragedi, sekaligus melindungi generasi yang akan datang dari dampak laten yang kerap tersembunyi di balik diamnya luka batin.
