Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Search Topics

Media Sosial dan Krisis Eksistensial: Apa Pengaruhnya pada Kesehatan Mental?

Di era digital yang serba terkoneksi, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan Facebook tidak hanya menjadi sarana komunikasi dan hiburan, tetapi juga arena untuk membentuk identitas diri, menunjukkan pencapaian, dan mencari validasi sosial. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas yang ditawarkan, media sosial juga menyimpan sisi gelap yang kian mengusik kesehatan mental—terutama ketika individu mulai mengalami apa yang disebut sebagai krisis eksistensial.


Apa Itu Krisis Eksistensial?

Krisis eksistensial adalah kondisi psikologis ketika seseorang mempertanyakan makna hidup, identitas diri, tujuan keberadaan, dan peran sosialnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Siapa saya sebenarnya?”, “Apa tujuan hidup saya?”, atau “Apakah hidup saya bermakna?” menjadi pusat kegelisahan batin yang mendalam. Kondisi ini sering muncul pada masa transisi kehidupan, tekanan sosial, atau setelah mengalami peristiwa besar yang mengguncang perspektif hidup.

Media Sosial: Katalisator Krisis Identitas

Media sosial bisa menjadi cermin, tetapi juga distorsi dari realitas. Di satu sisi, ia memberi ruang untuk berekspresi dan membentuk citra diri. Namun di sisi lain, algoritma yang mendorong konten populer, budaya perbandingan, dan pencarian validasi melalui "like", komentar, dan jumlah pengikut dapat menciptakan tekanan besar terhadap konsep diri seseorang.

Ketika pengguna terus-menerus dihadapkan pada kehidupan yang tampak sempurna dari orang lain—baik dalam hal penampilan, karier, hubungan, maupun gaya hidup—muncul rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Individu mulai merasa tidak cukup baik, tertinggal, atau bahkan tidak layak. Akibatnya, muncul keraguan terhadap nilai diri dan kebermaknaan hidup, yang menjadi pemicu utama krisis eksistensial.

Dampak pada Kesehatan Mental

Pengaruh media sosial terhadap krisis eksistensial tidak berhenti pada tingkat identitas saja. Berbagai studi menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial berkaitan erat dengan meningkatnya risiko gangguan mental, seperti:

  • Kecemasan dan depresi akibat perbandingan sosial yang terus-menerus.
  • Rasa keterasingan, meski secara teknis “terhubung”, karena hubungan di media sosial sering kali dangkal dan tidak autentik.
  • Kehilangan fokus pada nilai intrinsik, karena individu lebih terpaku pada pencitraan dan pengakuan eksternal.
  • Overthinking dan perasaan hampa, yang berasal dari kebutuhan akan validasi yang tidak pernah cukup.

Kondisi ini diperburuk oleh budaya hustle dan glorifikasi pencapaian yang sering ditampilkan di media sosial, seolah-olah hidup harus selalu produktif dan bermakna dalam ukuran yang ditentukan orang lain.

Menemukan Keseimbangan

Untuk menghindari jebakan krisis eksistensial yang dipicu oleh media sosial, penting bagi individu untuk membangun kesadaran diri dan menetapkan batasan yang sehat. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  • Detoks digital secara berkala, untuk menjernihkan pikiran dan membangun koneksi dengan dunia nyata.
  • Membangun identitas diri dari dalam, bukan semata dari respons eksternal.
  • Memprioritaskan hubungan yang autentik, yang tidak tergantung pada tampilan online.
  • Refleksi diri, dengan menulis jurnal, meditasi, atau berbicara dengan tenaga profesional.
  • Menggunakan media sosial secara sadar, sebagai alat ekspresi, bukan tolok ukur harga diri.